Dalam lingkungan akademik global yang semakin kompetitif, mahasiswa seringkali harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk masalah keuangan. Situasi ini membuat sebagian dari mereka harus mengambil langkah ekstrem, seperti yang dilakukan seorang mahasiswa PhD asal China yang belajar di Swiss. Dia memilih untuk memakan makanan kucing demi menghemat biaya hidupnya.
Keputusan yang kontroversial ini mencerminkan betapa sulitnya kehidupan seorang pelajar di luar negeri, di mana biaya hidup sangat tinggi. Dengan imbalan mencari cara untuk mengurangi pengeluaran, mahasiswa tersebut mengklaim dirinya sebagai “orang Tiongkok paling hemat di Swiss”.
Keberaniannya untuk mengkonsumsi makanan hewan peliharaan ini jelas bukan tanpa alasan. Ia melakukannya untuk memenuhi kebutuhan proteinnya, sehingga dapat terus menjalani studinya meskipun dalam kondisi keterbatasan yang ekstrem.
Kehidupan Mahasiswa di Negara dengan Biaya Hidup Tinggi
Di negara-negara Eropa seperti Swiss, mahasiswa sering kali menghadapi dilema finansial yang berat. Rata-rata, seorang mahasiswa PhD di Swiss membutuhkan antara 1.000 hingga 1.500 Franc Swiss per bulan untuk menutupi semua kebutuhan hidupnya.
Kenaikan biaya sewa, makanan, dan biaya pendidikan menjadi tantangan terberat yang harus dihadapi. Dengan banyaknya beban biaya, mahasiswa terpaksa mencari cara kreatif untuk bertahan hidup.
Dalam banyak kasus, mereka harus berhemat ekstrem, bahkan memilih makanan yang tidak biasa agar dapat terus mendapatkan pendidikan yang mereka impikan. Tindakan mengonsumsi makanan kucing adalah salah satu contoh dari keputusan tak terduga tersebut.
Alasan di Balik Pilihan Makanan Kucing
Mahasiswa tersebut menjelaskan bahwa makanan kucing biasanya mengandung bahan-bahan berprotein yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Meskipun banyak yang meragukan kelayakan konsumsi makanan hewan, ia merasa tidak ada pilihan lain.
Alasan di balik pilihan tersebut juga berkaitan dengan kebijakan di Swiss yang membatasi pekerjaan bagi mahasiswa internasional. Oleh karena itu, mahasiswa harus berjuang keras untuk mengatur keuangan dan memilih alternatif yang dianggap dapat menghindarkan mereka dari kelaparan.
Keputusan tersebut juga menyoroti betapa pentingnya menunjukkan ketahanan dan daya juang dalam menghadapi kesulitan. Selain memakan makanan kucing, mahasiswa itu juga mendonorkan darah untuk mendapatkan makanan gratis demi menyambung hidupnya.
Dampak Mental dan Emosional dari Keputusan ini
Setiap pilihan yang diambil mahasiswa tersebut tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga mental dan emosional. Menghadapi stigma sosial akibat kebiasaan makannya tentu tak mudah, karena dia harus berhadapan dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Perasaan malu dan kesulitan untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri. Meski begitu, dia tetap berusaha untuk fokus pada tujuan akademisnya dan berelangkah membuktikan bahwa pengorbanan ini dapat memberikan hasil yang memuaskan di akhir.
Dalam jangka panjang, keputusan untuk mengonsumsi makanan kucing bisa memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan psikologis mahasiswa tersebut. Oleh karena itu, penting bagi orang-orang di sekitarnya untuk memberikan dukungan moral yang dibutuhkan.
Pemikiran Akhir tentang Solarisasi Lingkungan Akademik
Pengalaman mahasiswa ini membawa perhatian pada isu yang lebih besar terkait sistem pendidikan tinggi di seluruh dunia, termasuk Switzerland. Masalah biaya pendidikan dan kehidupan menjadi kenyataan pahit yang tidak boleh diabaikan.
Ketidakmampuan mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka menciptakan dampak yang serius bagi perjalanan pendidikan mereka. Ini adalah panggilan untuk para pengambil keputusan untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih manusiawi dan mendukung mahasiswa yang berjuang.
Akhir kata, cerita ini memberikan gambaran jelas tentang perjuangan yang dihadapi banyak mahasiswa di seluruh dunia. Momen-momen seperti ini layak mendapatkan perhatian dan dukungan dari semua elemen masyarakat.




