Di tengah dibahasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, banyak kalangan mengungkapkan kekhawatiran terkait beberapa pasal yang dianggap multitafsir. Menurut berbagai tokoh hukum, keberadaan pasal-pasal tersebut bisa berpotensi menimbulkan berbagai masalah dalam penerapan hukum di Indonesia. Terutama dalam konteks pelindungan hak asasi manusia dan keadilan bagi masyarakat.
Guru besar Hukum Universitas Negeri Makassar, Harris Arthur Hedar, menegaskan bahwa meskipun tujuan RUU ini mulia, terdapat lima pasal yang seharusnya diperbaiki. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan negara agar tidak timbul ketakutan dari rakyat dalam menghadapi sistem hukum.
Menurut Harris, pasal 2 dalam RUU tersebut memungkinkan negara merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Hal ini jelas berpotensi menggeser asas praduga tak bersalah yang merupakan salah satu pilar dalam sistem hukum yang adil.
Kritikan Terhadap Pasal-Pasal RUU Perampasan Aset yang Kontroversial
Pasal 3 yang menyatakan bahwa aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap seseorang tetap berjalan, juga mendapat kritik tajam. Harris berpendapat bahwa hal ini akan menciptakan dualisme antara hukum perdata dan pidana, membuat masyarakat merasa dihukum dua kali tanpa kejelasan yang tepat.
Lebih jauh, pasal 5 ayat (2) huruf a yang menyatakan perampasan dilakukan jika jumlah harta tidak seimbang dengan penghasilan sah, harus menjadi perhatian serius. Begitu pula dengan pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas, kelompok masyarakat yang kurang mampu bisa jadi menjadi sasaran potensial bagi tindakan ini.
Selain itu, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perampasan aset tetap bisa dilakukan meskipun tersangka sudah meninggal dunia atau melarikan diri. Hal ini bisa berisiko besar bagi ahli waris yang mungkin kehilangan hak atas warisan yang sah tanpa alasan yang jelas.
Pentingnya Perlindungan Hukum bagi Masyarakat dalam Proses Perampasan Aset
Harris menekankan pentingnya memperjelas definisi pada pasal-pasal kontroversial tersebut. Definisi yang jelas dapat memberikan perlindungan bagi ahli waris dan mencegah perampasan aset yang tidak berdasar. Ada kebutuhan mendesak untuk menjamin bahwa siapa yang menuduh harus membuktikan, bukan sebaliknya.
Tidak hanya itu, perampasan aset harus berdasarkan putusan pengadilan yang independen dan tidak boleh terjadi tanpa persetujuan hakim. Pendekatan ini penting agar setiap proses hukum dalam kasus perampasan aset dapat berjalan dengan transparan dan akuntabel.
Proses perampasan yang transparan dan berbasis pada kepentingan publik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan literasi hukum yang tinggi agar rakyat dapat memahami hak-hak mereka secara menyeluruh.
Waspada Terhadap Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Melalui RUU Ini
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDIP, Sturman Panjaitan, juga mengingatkan akan potensi RUU ini menjadi alat penguasa. Dia menekankan pentingnya hati-hati dalam pembahasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan rakyat.
Pembahasan yang melibatkan partisipasi publik dan akademisi di kampus-kampus menjadi langkah penting untuk memastikan aspek-aspek hukum dalam RUU ini diberlakukan secara adil. Suara kritis dari berbagai kalangan harus didengar dan ditampung untuk menyempurnakan RUU ini.
Oleh karenanya, diskusi mengenai RUU harus dilakukan secara mendalam dan tidak hanya sekadar formalitas. RUU Perampasan Aset seharusnya dapat diubah dan disempurnakan sesuai masukan dari masyarakat dan ahli, demi tercapainya keadilan dalam penerapannya.
Proses Pembahasan RUU yang Melibatkan Berbagai Pihak
DPR dan pemerintah telah sepakat untuk menyelesaikan proses pembahasan RUU Perampasan Aset menjelang 2025. Hal ini menunjukkan adanya keseriusan dalam menangani masalah ini, meskipun membawa banyak tantangan.
Rencananya, RUU ini akan resmi dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2025, walaupun sebelumnya sudah masuk dalam Prolegnas jangka menengah 2024-2029. Ini menandakan adanya upaya untuk mempercepat pembahasan demi kepentingan publik.
Ketua Baleg DPR juga menegaskan bahwa target penyelesaian RUU ini harus dapat bermakna dan memberikan hasil yang baik bagi masyarakat. Diskusi yang dalam dan melibatkan banyak pihak sangat diharapkan untuk mengurangi risiko kesalahan dalam implementasi RUU ini di masa mendatang.